Radikalisme Karena Kurang Baca “Tolak Radikalisme dengan Membaca” Oleh Tamrin

Radikalisme Agama merupakan salah satu persoalan serius yang dihadapi Bangsa Indonesia, maraknya penyebaran paham ini mendorong pemerintah Indonesia membentuk satu badan khusus pada tahun 2010 untuk menanggulanginya yaitu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang juga tersebar di seluruh provinsi dengan nama Forum Komunikasi Penanggulangan Terorisme (FKPT). Hal ini menunjukkan bahwa Pemerintah   menaruh   perhatian   serius   terhadap   persoalan   bangsa   kaitannya   dengan penyebaran paham radikal yang telah menyasar banyak lini kehidupan masyarakat bahkan perguruan tinggi dan masjid.

Jika kita kembali memahami definisi dari radikal berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata radikal dimaknai “secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) dan maju dalam berpikir atau bertindak”. Berangkat dari definisi ini seharusnya kata radikal tidak boleh disalah artikan apalagi kemudian digiring ke arah negatif. Mengutip pernyataan Dr. Muhiddin Bakri, Lc (2022) yang beliau sampaikan pada forum webinar, beliau menegaskan bahwa “makna radikal sebenarnya positif. Hanya saja, orang radikal itu memahami agama secara berlebihan tapi tidak mendalam. Justru pemahaman agama mereka itu sangat dangkal.” Penyampaian beliau ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan oleh KH. Hasyim Muzadi (2016) bahwa beliau memperbolehkan bahkan mengharuskan seseorang berpikir radikal (berpikir mendalam, sampai keakar-akarnya).

Sedangkan pemaknaan radikalisme itu sendiri sudah menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Bahkan dalam KBBI didefinisikan sebagai paham atau aliran yang radikal dalam politik, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, serta sikap ekstrem dalam aliran politik. Inilah yang kemudian membawa kata radikal ke arah yang melenceng jauh dari makna aslinya, apalagi kata radikalisme disandingkan dengan agama. Karena pada hakikatnya agama seharusnya membawa kedamaian dan memberikan kontrol sosial kepada penganutnya. Apalagi pemahaman radikalisme agama ini sering sekali teralamatkan kepada agama Islam.  Tidak hanya agama, bahaya dari radikalisme ini bahkan menurut Abdurrahman Mas’ud  (2014) dalam beberapa hal dapat menganggu stabilitas nasional negara kesatuan Republik Indonesia. Maka  kita  sebagai insan  yang  beragama  harus memaknai  kembali  wahyu  pertama  yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw yaitu Q.S Al-Alaq ayat 1-5 yang point pentingnya ada pada perintah untuk “Membaca”.

Menyelami makna iqra’

Menelisik penafsiran  terkait kata ‘iqra’ disini Maraghi berpendapat bahwa perintah iqra’ yang diulang menunjukkan bahwa bacaan tersebut tidak dapat membekas dalam jiwa kecuali disertai dengan koherensi dan konsistensi. Penafsiran selainnya dari Quraish Shihab, beliau menjelaskan dalam surah ini ada ajakan untuk membaca dan belajar, dan bahwa Allah Swt yang mampu menciptakan manusia dari yang asalnya lemah, juga bisa mengajari mereka menulis, yang merupakan sarana penting untuk mengembangkan ilmu dan mengajari mereka apa  yang  tidak  pernah  mereka  ketahui.  Sedangkan  Kemenag  dalam  tafsirnya  dijelaskan

bahwa dalam ayat ini Allah Swt memerintahkan manusia untuk membaca (pelajaran, penelitian dan sebagainya) apapun yang Dia ciptakan, baik ayat-ayat-Nya yang tersurat (Qauliyah), yaitu Al-Qur’an, maupun ayat-ayat tersirat-Nya, yang berkaitan dengan alam semesta (Kauniyah). Itu harus dibaca atas nama-Nya, yang artinya berharap pada-Nya dan pertolongan-Nya. Oleh karena itu, tujuan membaca dan mempelajari ayat-ayat Allah adalah untuk memperoleh hasil yang diridhai-Nya, yaitu ilmu atau sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.

Berdasarkan tiga paparan penafsiran di atas, dapat dipahami bahwa betapa pentingnya seseorang memiliki dan mendalami ilmu pengetahuan yang tentu tidak bisa terlepaskan dari aktivitas membaca (iqra’). Karena hal ini akan berdampak pada geliat paham radikal, radikalisme agama menurut paparan Azyumardi Azra (2012) disebabkan oleh beberapa hal: Pertama, pemahaman agama yang setengah-tengah terkait ayat al-Qur’an. Kedua, kesalahan dalam membaca sejarah umat Islam kemudian digabungkan dengan idealisme berlebihan terhadap kondisi Islam pada masa tertentu. Ketiga, masih melekatnya deprivasi ekonomi, sosial dan politik dalam masyarakat. Keempat, konflik sosial yang bernuansa intra dan antar agama. Kelima, perkembangan media dimanfaatkan oleh kelompok radikal dalam menyebarkan doktrin dan informasi.

Giat Membaca Sebagai Tawaran

Ketika paham radikalisme agama ini telah terdoktrin bahkan mendarah daging dalam benak seseorang, maka hal yang akan sering dilakukan ialah klaim kebenaran atau merasa bahwa hanya pemahamannya yang benar dan menolak pemahaman dari luar bahkan terkesan

‘mokso’. Pada hakikatnya kebenaran tunggal itu hanyalah milik Allah Swt sehingga segala produk yang datangnya tidak dari Allah Swt itu memiliki potensi untuk melahirkan ragam paham seperti halnya penafsiran. Sehingga, kurangnya seseorang dalam membaca itu menjadikan seseorang akhirnya akan sempit pemahamannya dan semakin membahayakan apabila pemahaman yang sempit ini mendorong seseorang untuk menyesatkan orang atau kelompok lain lalu diekspresikan berlebihan menjadi “fenomena takfiri”.

Kembali menggalakkan literasi “baca” ini akan menunjang terbukanya wawasan masyarakat untuk bisa memahami bahwa sejatinya agama itu membawa kedamaian tidak melahirkan  permusuhan  apalagi  sampai  pada  tindakan  “terorsisme”.  Hal  ini  diperlukan karena berdasarkan rilis yang dikeluarkan oleh UNESCO (2019) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia hanya memiliki 0,001 % terhadap minat baca. Miris tentunya melihat fakta ini, negara dengan mayoritas penduduknya muslim ternyata belum mampu mengimplementasikan dengan baik makna dari wahyu Allah Swt terkait perintah ‘iqra’. Maka tidak dapat kita pungkiri bahwa masyarakat kita yang terpapar dengan mudah oleh doktrin  radikalisme  agama  salah  satu  penyebabnya  karena  masyarakat  Indonesia  masih minim ‘kemauan’ untuk membaca.

Selain  itu,  masyarakat  Indonesia  juga   banyak  menghabiskan  waktunya  untuk

‘menjelajahi dunia maya’, “sebanyak 37,5 persen aktivitas 24/7 orang Indonesia dikhususkan untuk Internet”, menurut paparan Mira Tayyiba, Sekjen Kementerian Komunikasi dan Informatika (2022). Inilah yang kemudian yang dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi dan konten-konten terkait paham radikalisme dan terorisme dengan dalih “jihad”. Maka perlu

dibendung dengan menghadirkan counter terhadap narasi negatif tersebut dengan jalan menggembirakan literasi membaca. Sebagaimana bunyi untaian hikmah “Sebaik-baik teman duduk adalah Buku”, banyak baca ini akan menjadi solusi bagi masyarakat agar tidak mudah terprovokasi, terdoktrinasi,  terjangkiti  paham  “ekstrem”.  Kata  Lukman  Hakim Saefuddin (2014) “Kita harus memiliki kewaspadaan dan kepeduliaan untuk terus menjaga bangsa ini, untuk  tidak  memberi  tempat  bagi  tumbuhnya  radikalisme  agama,  apapun  alasannya”. Sehingga nantinya akan mendatangkan kesejukan dan kedamaian dalam beragama dan bernegara.

Membangun  kesadaran  untuk  meningkatkan  ghirah  membaca merupakan  langkah nyata dalam upaya menangkal paham radikalisme agama. Dengan membaca maka seseorang dapat memperluasan wawasan pengetahuan serta memahami ragam pandangan, sehingga tidak lagi memaksanakan kebenaran tunggal dan menghukumi yang berbeda dengan label

‘kafir, thagut’. Oleh karenanya, membaca yang mungkin bagi kebanyakan orang hal yang

sepeleh  tapi  berdasarkan   fakta   yang  telah  disebutkan   sebelumnya   justru   kita   perlu memberikan perhatian khusus terhadap minat satu ini. Jangan sampai, orang-orang yang terpapar paham radikalisme ini kurang ‘bacaan’ sehingga menganggap hanya ‘bacaannya’ saja yang benar. Maka sudah seharusnya kita menghidupkan dan mengimplementasikan semangat iqra’. Wallahu a’lam. (Tamrin, S.PdI, M.PdI/Tokoh Pendidikan Sultra dan Staf FKPT Sultra)