Ketua FKPT Jatim: Pasca Pembubaran JI, Radikalisme Masih Mengintai NKRI

Surabaya–Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur, Prof. Dr. Husniyatus Salamah Zainiyati, M.Ag., menegaskan bahwa meskipun Jamaah Islamiyah (JI) secara resmi telah dibubarkan pada Juni 2024, ancaman paham radikal dan terorisme masih terus mengintai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hal tersebut disampaikannya dalam Talkshow Duta Damai bertema “Penanggulangan Terorisme Pasca Bubarnya Jamaah Islamiyah” yang diselenggarakan di Aula Bakesbangpol Jawa Timur, Rabu (16/04/2025).

“Bubarnya JI bukan berarti selesai. Justru pasca pembubaran, sel-sel tersembunyi (sleeper cells) dan pola perekrutan semakin halus dan terstruktur,” ujarnya.

Prof. Titik sapaan akrabnya memaparkan bahwa eks anggota JI kini banyak menyusup ke organisasi sosial dan keagamaan, mendirikan lembaga pendidikan, hingga memanfaatkan media dakwah digital untuk menyebarkan ideologi radikal.

“Mereka juga melakukan penguatan ekonomi internal melalui yayasan, kotak amal, hingga usaha legal yang disusupi untuk pembiayaan jaringan,” terangnya.

Dinamika JI Pasca Pembubaran
Dalam paparannya, Prof. Titik juga menjelaskan lima poin penting terkait dinamika jaringan terorisme di Indonesia setelah pembubaran JI.

Pertama, terjadi transformasi jaringan terorisme. Kelompok radikal kini bertransformasi menjadi sel-sel kecil yang tersembunyi dan cair, namun tetap aktif dalam merekrut anggota serta melakukan kaderisasi melalui berbagai saluran, termasuk media sosial dan pendidikan nonformal.

“Kedua, muncul fragmentasi dan kemunculan kelompok baru. Beberapa kelompok seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) menjadi aktor dominan dalam aksi-aksi teror pasca 2010. Mereka mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh JI dengan strategi yang lebih ekstrem,” katanya.

Ketiga, terjadi perubahan strategi dan taktik, khususnya melalui serangan individual atau lone wolf, yang sulit dideteksi karena dilakukan secara mandiri tanpa struktur komando yang jelas.

“Keempat, Prof. Titik menyoroti pentingnya mewaspadai peran ideologi dan narasi kekerasan. Ideologi takfiri—yang mengkafirkan kelompok lain di luar kelompok mereka—masih menjadi fondasi utama gerakan radikal, dan terus digunakan untuk membenarkan kekerasan,” ucapnya.

Kelima, ia menegaskan adanya ancaman radikalisasi digital. Media sosial dan internet berperan besar dalam penyebaran paham ekstrem. Narasi intoleran, kekerasan simbolik, dan propaganda jihad digital menjadi alat efektif dalam memengaruhi generasi muda.

“Digitalisasi menjadi lahan baru yang subur bagi radikalisme. Kita harus hadir di ruang digital untuk menandingi narasi mereka,” tegas Prof. Titik.

Strategi Pencegahan Terorisme
Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya ini juga menyampaikan strategi pencegahan radikalisme berbasis analisis jaringan sosial (Social Network Analysis/SNA). Strategi ini dapat mengidentifikasi aktor kunci, titik strategis intervensi, serta pola komunikasi dan mobilisasi ideologi.

“Pendidikan toleransi harus dimasukkan ke dalam kurikulum keagamaan dan pendidikan formal. Nilai-nilai Pancasila, multikulturalisme, dan moderasi beragama wajib menjadi dasar dalam membangun kebangsaan,” imbuhnya.

Selain itu, ia mendorong pendekatan persuasif kepada eks narapidana teroris sebagai agen deradikalisasi. “Libatkan tokoh ulama moderat, anak muda, influencer muslim, hingga lembaga dakwah mainstream untuk membanjiri ruang digital dengan narasi perdamaian,” tegasnya.

Talkshow ini turut dihadiri oleh Prof. Dr. Irfan Idris, MA. Direktur Pencegahan BNPT RI sebagai keynote speaker dan Eddy Supriyanto, S.TP., M.PSDM Kepala Bakesbangpol Jawa Timur sebagai narasumber.

Hadir pula jajaran FKPT Jawa Timur yaitu, Sekretaris Doni Nugroho Susanto, S.Sos, MM, Bendahara Prof. Dr. Mutimmatul Faidah, M. Ag, Kepala Bisang Perempuan dan Anak Dra. Faridatul Hanum, M.Si., Kepala Bidang Pemuda dan Pendidikan Arie Mahendra Adhiarta, S.Kom dan Satgas Keuangan Silvya Nuryani, S.Ag., M.Pd,