Ketua FKPT Jatim Jelaskan 4 Strategi Bangun Keberagamaan yang Inklusif-Pluralis di Lembaga Pendidikan

Surabaya-Survei Alvara menyebutkan 23 persen mahasiswa setuju jihad untuk khilafah, dan 18 persen mahasiswa mendukung khilafah sebagai bentuk pemerintah yang ideal dibanding NKRI.
Sedangkan PPIM UIN tahun 2018 mencatat bahwa 58,5 persen mahasiswa dan 46,09 persen guru/dosen mendukung ide khilafah sebagai sistem pemerintahan ideal, menggantikan NKRI. Data ini menunjukkan kekhawatiran akan tren radikalisme di kalangan muda.
Merespons hal tersebut, Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur, Prof. Dr. Husniyatus Salamah Zainiyati, M.Ag., menekankan pentingnya pembangunan keberagamaan yang inklusif dan pluralis di lingkungan lembaga pendidikan.
Hal ini disampaikan dalam International Seminar bertema “Reinterpreting Islam: Addressing Misinterpretations and Reviving Authentic Practices” yang digelar oleh Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (24/04/2025).
Prof. Titik, sapaan akrabnya menjelaskan bahwa lembaga pendidikan merupakan garda terdepan dalam menangkal penyebaran ideologi radikal berbasis tafsir keagamaan yang menyimpang.
“Upaya membangun keberagamaan yang inklusif dan pluralis perlu dilakukan secara sistematis dan terencana, mulai dari ruang kelas hingga kebijakan kelembagaan,” jelasnya.
Wakil Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya itu memaparkan empat strategi utama yang dapat diterapkan di lembaga pendidikan, pertama, melakukan kontra-ideologi. Menurutnya, lembaga pendidikan harus aktif memberikan narasi tandingan terhadap ideologi kekerasan yang seringkali memanipulasi ayat-ayat Al-Qur’an. Pengetahuan yang benar dan kontekstual menjadi benteng utama dalam mencegah infiltrasi pemahaman radikal.
Kedua, bersikap demokratis. Proses pendidikan harus mengedepankan sikap terbuka dan partisipatif. “Pendidikan yang demokratis akan melatih siswa untuk berpikir kritis dan menghargai keberagaman pendapat,” jelas Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya itu.
Ketiga, pentingnya dialog dan musyawarah. Menumbuhkan budaya dialog dan musyawarah sangat penting dalam membangun toleransi di lingkungan pendidikan. Hal ini membuka ruang interaksi antarumat beragama dan intraumat, sehingga memperkuat pemahaman akan pentingnya hidup berdampingan secara damai.
“Keempat, mengembangkan bahan ajaran yang inklusif-pluralis. Bahan ajar yang digunakan perlu memperhatikan nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, pendidikan agama harus disajikan dalam narasi yang merangkul perbedaan, bukan justru memicu eksklusivisme,” tambahnya.
Dalam kesimpulan, Prof. Titik menegaskan bahwa deradikalisasi penafsiran Al-Qur’an adalah langkah fundamental untuk membenahi kesalahpahaman terhadap konsep jihad, kafir, dan khilafah. “Pendidikan Islam yang moderat dan inklusif sangat diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang damai dan toleran,” ujarnya.
Acara ini juga dihadiri oleh narasumber dari luar negeri, di antaranya Prof. Madya Dr. Anas bin Mohd Yunus dan Prof. Madya Dr. Mohd Syafiee bin Hamzah dari UnisZA Malaysia.