BNPT: Potensi Radikalisme di NTT Meningkat, Penyebarannya Terbanyak via Whatsapp

Kupang – Potensi radikalisme di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami peningkaan kendati disebut provinsi paling toleran di Indonesia. Fakta ini merupakan hasil riset Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di 8 kabupaten dan kota di NTT tahun 2022.

Kasubdit Pemberdayaan Masyarakat BNPT Kolonel Rahmad Suhendro mengatakan, indeks potensi radikalisme di NTT mencapai 5,4 persen pada tahun 2022. Angka ini naik dibandingkan tahun 2020 dengan indeks 4,5. Berdasarkan hasil riset ini ditemukan penyebaran radikalisme dan propaganda sesat ini terbanyak melalui media sosial. Yakni WhatsApp menempati persentase tertinggi di NTT yakni 78 persen. Diikuti oleh Facebook 65,0 persen, YouTube 19,0 persen, Twitter 16 persen, dan Instagram 8 persen.

“Pemahaman yang terselubung ini yang perlu diwaspadai. Penggunaan media sosial juga harus diwaspadai,” kata Rahmad dalam Workshop bertema Cerdas Digital Satukan Bangsa, Perempuan Teladan, Optimis Produktif di Kota Kupang, Kamis, 13 April 2023. Workshop ini diselenggarakan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme NTT.

BNPT heran dengan temuan hasil riset di NTT. Alasannya, serangan terorisme di NTT paling rendah di negara ini. Namun, tingkat radikalismenya tinggi.

“Tingkat serangan terorisme di NTT paling rendah saya bilang. Paling rendah di sini tapi tingkat radikalismenya tinggi. Itu kan aneh. Di sini tidak ada sasaran terorisme, sumber manusia pun tidak ada. Ada sebenarnya satu atau dua orang,” papar Rahmad.

Kota Kupang juga sebelumnya tercatat memiliki  jaringan teroris. Ada yang juga baru pulang dari Karawang ke Kupang. Ada di Maumere, juga di Labuan Bajo atau Manggarai.

“Tetapi aneh bagi saya karena kita tidak ada target, tidak ada suplai sumber daya manusianya tapi radikalisme kita tinggi. Maka pemahaman tentang agama kita tolong jangan salah langkah. Jangan underestimate dengan beda agama lainnya,” kata dia.

“Pemahaman ini meningkat dari penggunaan internet dan hasil dari masyarakat yang kita lakukan penelitian di NTT. Sungguh sangat heran di NTT sangat toleran tapi penyusupan radikalisme tinggi hampir sama dengan Aceh,” dia melanjutkan.

Pengaruh jajahan Belanda kepada Indonesia selama ratusan tahun lamanya juga berperan. Hal ini mungkin membuat mental masyarakat Indonesia mudah untuk dipecah-belah dengan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).

“Kebiasaan adu domba itu masih bisa terjadi di sini,” ujar dia.

Radikalisme, kata Rahmad, berpengaruh besar terhadap perempuan. Faktor yang paling berpengaruh adalah lingkungan dengan tingginya doktrin agama. Misalnya perempuan harus taat terhadap suami, perempuan yang pergaulannya dibatasi, atau perempuan rawan menjadi obyek gerakan radikal.

Menurut Rahmad, hasil survei BNPT ini akan diberikan kepada Gubernur NTT  untuk disosialisasikan melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Kementerian Agama, maupun rumah ibadah di NTT. Tujuannya untuk menepis paham radikalisme.

“Mudah-mudahan di riset berikutnya di 2023 ini hasilnya turun dengan sosialisasi, edukasi, mudah-mudahan bisa turun,” kata Rahmad .

Hasil riset yang ditemukan ini menunjukkan adanya paham radikal yang mencolok seperti yang dianut Al-Qaeda dan ISIS.

“Kan turunannya sekarang ada NII, JII, yang kita lakukan pendekatan terhadap kepada mereka. Terutama NII sekarang ini banyak di Indonesia, mereka sudah berbalik dan memahami kesalahan mereka,” tambah dia.

Untuk wilayah Manggarai pun sumber daya yang terpapar ini juga telah didekati bersamaan dengan pemerintah daerah.

Potensi warga NTT terpapar sendiri sudah ditekan dan hanya terjadi di masa lalu. Sementara ini mereka telah menjadi warga negara biasa.

“Memang ada potensi radikalisme yang berpotensi menjadi teroris. Itu yang sudah kita sekat sehingga tidak masuk jaringan teroris di daerah kita,” tambah Rahmad.

Untuk kabupaten lainnya di NTT sendiri dalam kondisi yang kondusif. Pendekatan secara masif juga telah dilaksanakan kepada pihak yang berpotensi terpapar paham radikalisme.

Pengamat Intelijen Negara dan Keamanan Nasional, Stepi Ariani, juga mengomentari mengenai indeks paham radikalisme di NTT yang lebih parah dari NTB. Dia menduga perkembangan bisnis dan pariwisata di NTT membuka peluang masuknya pembawa paham radikal.

Bukan saja karena wisata sebagai pintu masuknya, tetapi karena NTT juga memiliki sumber daya alam yang bagus.