BNPT: Generasi Z dan milenial rentan terpapar radikalisme

Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Polisi R. Ahmad Nurwakhid saat berorasi dalam acara Pelibatan Pemuda dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme dengan Pitutur Kebangsaan yang digelar FKPT DIY di Universitas Negeri Yogyakarta, Jumat (30/9/2022). 

Mereka yang masih moderat karena rentan terpapar kami berikan vaksin ideologi

FKPT DIY, Yogyakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut para
pemuda generasi Z dan milenial di Tanah Air hingga kini masih rentan terpapar paham radikal.
“Anak muda biasanya kontrol emosinya masih labil, masih suka cari tantangan baru. Sementara
wawasan kebangsaan dan pengetahuan keagamaan mereka masih tumbuh dan berkembang,
belum matang,” ujar Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Polisi R. Ahmad Nurwakhid di
sela acara Pelibatan Pemuda dalam Pencegahan Radikalisme dan Terorisme dengan Pitutur
Kebangsaan di Universitas Negeri Yogyakarta, Jumat.


Pada kegiatan yang digelar Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FPKT) Daerah Istimewa
Yogyakarta itu, ia menyebutkan indeks potensi radikalisme di Indonesia tahun 2019 berada
pada angka 38,4 persen dan turun menjadi 12,2 persen pada 2020 sampai 2021.
Dari indeks tersebut, persentase anak muda generasi Z berusia 14 hingga 19 tahun dan milenial
berusia 20 hingga 39 tahun mendominasi, yakni mencapai lebih dari 50 persen. “Dan kebanyakan
dari generasi Z dan milenial ini adalah perempuan,” ujar Nurwakhid.


Menurut Nurwakhid, generasi muda usia tersebut memang menjadi sasaran dari kelompok radikal
karena memiliki masa yang panjang untuk dipersiapkan sebagai kader. Generasi muda menjadi
target kelompok radikal untuk mendukung agenda utama mereka, yakni mengganti ideologi negara
melalui kekuasaan.


Oleh karena itu, BNPT melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang tersebar
pada 34 provinsi hingga kini terus menggencarkan berbagai upaya pencegahan.
“Mereka yang masih moderat karena rentan terpapar kami berikan vaksin ideologi, tapi yang sudah
OTG (terpapar radikalisme, namun tidak sadar) kami berikan kontra-radikalisme di dunia maya
maupun nyata melalui kontra-ideologi, kontra-narasi, atau kontra-propaganda,” jelas Nurwakhid.
Upaya pencegahan, lanjutnya, perlu terus digencarkan karena hingga kini belum ada instrumen
hukum untuk menindak penyebaran radikalisme kanan atau radikalisme agama.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kata
Nurwakhid, belum mampu menjangkau paham radikal kecuali mereka telah masuk jaringan teror
dan sudah siap beraksi dengan sejumlah indikator.

Ia menyebutkan beberapa tanda radikalisme, antara lain dapat dilihat dari sikap anti terhadap
Pancasila, gemar mengafirkan orang lain termasuk mengafirkan negara, intoleran terhadap
perbedaan, hingga antipemerintah yang sah.


“Anti di sini bukan dalam arti-oposisi atau kritis, tapi sikap membenci dengan membangun
permusuhan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara maupun pemimpin yang sah
dengan menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, adu domba, fitnah, dan lainnya,” ujar Nurwakhid.
Perwakilan FKPT Daerah Istimewa Yogyakarta Fahmi Akbar Idris mengatakan mencegah paparan
paham radikal di kalangan anak muda tidak mudah karena di dunia maya mereka memiliki akses
yang luas untuk mendapatkan beragam informasi.


Oleh karena itu, satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah terus menerus melakukan edukasi
dan menanamkan nilai kebangsaan kepada mereka.

“Anak muda sekarang kan punya dunianya sendiri melalui media sosial, di rumah saja sudah
dapat informasi. Tidak keluar rumah malah dapat banyak hal tanpa bisa dikontrol,” ucap Fahmi.